Minggu, 11 Januari 2009

Sastra Dan Feminisme

Oleh: Mokhamad Irfan

Sastra adalah sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Karena sastra mempelajari tentang pengalaman hidup manusia dan mengabadikannya dalam sebuah karya sastra. Henkle (1977:6) menyatakan bahwa sastra itu mempelajari tentang orang lain, dan keuntungan yang besar dalam mempelajari sastra adalah kita dapat masuk kedalam kehidupan seseorang meskipun kita tidak bertemu orang tersebut secara langsung.

Disamping mempelajari tentang kehidupan manusia, kesusastraan juga seharusnya mempunyai nilai-nilai pelajaran tentang hidup. Henkle juga mengatakan bahwa kesusastraan itu mempunyai sebuah nilai khusus yang berbeda dengan disiplin ilmu yang lain, karena sastra memberikan gagasan atau pikiran pada kita. Gagasan Henkle terhadap kesusastraan tercermin dalam karya Agatha Christie, khususnya Crooked House (telah diterjemahkan dengan judul “Buku catatan Yosephine”).

Walaupun novel ini sebuah novel populer, novel ini berisi banyak nilai-nilai pelajaran kehidupan manusia. Jadi, novel ini tidak sekedar sebuah hiburan saja. Tidak sekedar cerita detektif yang membuat rasa penasaran saja. Novel ini juga memberi pembaca banyak pengetahuan tentang hidup. Salah satunya tentang feminisme pada abad XX di Inggris yang tergambar pada beberapa aspek didalam novel.

Untuk lebih mengenal feminisme, mari kita sekilas membicarakan sejarah gerakan feminisme di Amerika. Gerakan feminisme muncul di sekitar akhir abad XIX. Feminisme dibagi menjadi tiga gelombang, setiap gelombang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dari masalah yang sama. Gelombang pertama dimulai dari abad XIX sampai awal abad XX. Gelombang kedua dimulai sekitar tahun 1960 sampai 1980, yang dihubungkan oleh ketidaksetaraan dalam bidang hukum. Terakhir adalah gelombang ketiga yang terjadi sekitar tahun 1990 sampai saat ini.

Gerakan wanita dikenal sebagai gelombang kedua feminisme. Gelombang pertama feminisme terfokus pada hak wanita di bidang hukum, sedangkan gelombang kedua mencangkup setiap aspek wanita termasuk keluarga, seksualitas, dan pekerjaan.

Menurut Suzanne Staggenborg (2003:45), pada abad XIX, urbanisasi dan indrustialisasi membantu wanita memberontak akan semua hal yang menyangkut rumah tangga dan yang membebani wanita. Karena industrialisme yang maju, wanita di XIX dan diawal abad XX tidak terikat oleh pekerjaan di sawah. Pada abad XX, ekonomi dan perpindahan masyarakat membuat persamaan derajat seperti halnya pada lapangan kerja untuk wanita. Turunnya angka kelahiran juga menurunkan peran wanita sebagai pengurus rumah tangga.

Pada zaman Ratu Victoria, umumnya wanita hanya mempunyai sedikit hak di bidang hukum dan kesempatan berkarir daripada laki-laki. Ibu rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan yang paling cocok untuk wanita. Lalu pada abad ke-20, wanita dibanyak negara mendapatkan hak untuk memilih dan meningkatkan pendidikan mereka juga untuk karirnya.

Inggris adalah Negara pelopor di bidang ekonomi. Revolusi industri yang pertama terjadi di Inggris pada abad XVIII sampai awal abad XIX dan revolusi industri ini mengantarkan kita pada perkembangan masyarakat dunia yang didominasi oleh masyarakat kelas menengah. Separuh penduduk Inggris tinggal di perkotaan. Laju perkembangan ekonomi dan perdagangan dunianya membuat Inggris menjadi Negara paling kaya di dunia pada saat Inggris dipimpin oleh ratu Victori, yaitu abad XIX. Beberapa saat sebelum dan sesudah revolusi industri, Kota London adalah pusat kapitalisme dunia.

Ketika revolusi industri berkembang, barang-barang yang tadinya diproduksi dengan tangan di beberapa industri rumah tangga, diproduksi oleh mesin di pabrik-pabrik. Wanita bersaing dengan pria untuk beberapa pekerjaan, tapi wanita masih dikhususkan di industri tekstil dan pabrik pakaian. Kenaikkan jumlah pekerja wanita juga terjadi pada tahun 1900an. Wanita-wanita tersebut umumnya mendapat gaji lebih kecil dari lelaki.

Pada waktu tersebut diatas perempuan dan laki-laki sama-sama berpartisipasi dalam mencari nafkah. Bersamaan dengan berkembangnya pertanian, pekerjaan wanita masih disekitar rumah. Mereka menyiapkan makanan, membuat baju, dan merawat anak-anak. Mereka juga membantu membajak sawah, memanen, dan memelihara hewan peliharaan. Berkembangnya kota, hal ini membuat banyak wanita Inggris berjualan barang-barang di pasar. Wanita Inggris mulai “meninggalkan” rumah mereka.

Perubahan sosial abad XX telah menciptakan nilai dan beraneka gaya hidup. Banyak wanita masuk lapangan pekerjaan, tetapi wanita masih banyak yang berperan sebagai ibu rumah tangga. Perubahan sosial abad XX juga merubah susunan populasi seperti di keluarga. Hal ini terjadi karena disamping menjadi seorang ibu, dia juga bekerja diluar rumah.

Ketika bertambahnya jumlah pekerja wanita, pengalaman mereka juga bertambah. Disamping menjadi pekerja, wanita pada waktu itu punya pendidikan yang lebih baik. Ketika bertambahnya jumlah pekerja wanita, persaingan juga terjadi diantara mereka. Wanita yang mempunyai latar belakang pendidikan yang lebih baik akan memenangkan persaingan itu. Dengan kata lain, wanita pada abad XIX adalah wanita yang berpendidikan. Staggengborg menyatakan suatu hal yang berkaitan dengan feminisme, secara biologis, wanita lebih lemah dari laki-laki, tapi secara psikologis, wanita tidak bisa ditempatkan di bawah laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar